POLITIK DINASTI JOKOWI

POLITIK DINASTI JOKOWI

Kemarin malam mampir ke Solo, sesudah jadi pembicara di Universitas Sanata Dharma Jogja.

Dan waktu yang singkat saya sempatkan mampir ke keluarga Jokowi, diajak seorang teman yang dekat dengan mereka. Saya disambut dengan hangat oleh mereka sekeluarga besar. Rupanya hampir semua mengikuti tulisan-tulisan saya di media sosial.

Dan kami ngobrol sampai malam ditengah kesederhanaan keluarga seorang Presiden Republik Indonesia.

Saya bilang "sederhana" karena mereka memang begitu adanya. Dahulu kala di Indonesia, menjadi keluarga seorang Presiden sudah pasti kaya raya dengan segala proyek dan pengutipan jasa.

Mereka memang beda.. 😊

Dan saya akhirnya tidak tahan untuk mengajukan pertanyaan yang selama ini ada di kepala, "Untuk apa Gibran maju ke Pilwakot Solo ? Apa tidak takut dituding politik dinasti ?"

Pertanyaan itu ternyata membuat mereka sejenak terdiam, sampai seseorang bicara.

"Kalau mau dinasti, seharusnya Jokowi lebih mementingkan Gibran teruskan perusahaan meubelnya. Tapi Gibran gak mau. Anak-anaknya gada yang mau. Mereka keras kepala, mau dapat uang sendiri keluar dari bayang-bayang orangtua.

Jadi kalau dibilang dinasti pasti gak benar. Dinasti itu ada di partai, pak Jokowi sendiri gak punya partai. Itu maunya Gibran sendiri. Jokowi gak bisa melarang.." kata mereka.

Saya melihat sekeliling wajah-wajah mereka dan memang tidak tampak sedikitpun wajah dari pelaku politik dinasti. Mereka, meski keluarga Jokowi, adalah orang biasa. Mereka sudah cukup dengan usaha-usaha meubelnya dan menganggap politik itu hanya permainan belaka.

Tapi saya penasaran. Saya harus menggali lebih dalam, tepat ke jantungnya.

Lalu saya bertanya, "Saya pengen jawaban yang jujur kenapa Gibran malah ikut jejak bapaknya ? Selama ini dia dikenal yang paling menentang bapaknya masuk politik.."

Lama mereka terdiam lagi, sampai salah seorang menjawab..

"Orang selalu melihat masalah di Solo dengan kacamata Jakarta. Karena Gibran anak Presiden, maka keputusan dia menjadi masalah nasional. Padahal, Gibran cuman mikirin Solo.." Jawabnya dengan logat Jawa yang kental.

"Masalah di Solo ini sejak peninggalan Jokowi adalah tidak ada kemajuan sama sekali. Lari di tempat. Kebijakannya Asal Bapak Senang. Orang-orang pada gelisah..

Yang bikin gelisah lagi, calon yang terkuat usianya sudah 70 tahun, wakil Walikota sekarang. Kalau dia menjabat lagi, Solo ya terus begini.

Nah, Gibran dapat dorongan dari warga supaya bisa melakukan perubahan. Hanya dia yang bisa, karena namanya dia terkenal. Kalau orang lain, pasti kalah. Ya, akhirnya karena kondisinya begitu, kami support aja.."

Agak lama saya merenung, terutama ketika mengingat perkataan "orang melihat masalah Solo dengan kacamata Jakarta".

Kita yang ribut bahkan lebih Solo dari warga Solo, hanya karena Gibran anak Jokowi. Yang kita lupa, dia juga warga negara yang punya hak mencalonkan diri. Dari semua sudut pandang, kita hanya memakai satu saja bahwa ia anak Jokowi. Titik.

Sudah malam. Perut sudah penuh karena sorenya diajak makan ayam goreng Mbah Karto di Sukoharjo. Saya pamit pulang.

Seruput kopi malam itu memang membawa kesan.. (Denny Siregar)

Comments

Popular posts from this blog

Idul Adha: Daerah Ini Tidak Ada Yang Kurban-kan Sapi, Kenapa? Berikut Ulasannya!

Ahok Itu "Bodoh" , Salah Strategi!